
Berdasarkan Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan (SGB), negara-negara Uni Eropa wajib menjaga utang agar tidak lebih dari 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan defisit anggaran pemerintah maksimal 3 persen dari PDB. Seperangkat ketentuan mengenai anggaran dan rasio defisit anggaran pemerintah tersebut harus ditaati 27 negara Uni Eropa. Namun demikian, beberapa negara seperti Portugal, Irlandia, Italia, Yunani, dan Spanyol memiliki rasio utang dan defisit anggaran yang telah melampaui ketentuan tersebut. Irlandia akhirnya harus menerima dana talangan setelah mengalami defisit anggaran sebesar 7,3 persen dari PDB dan dikhawatirkan akan merembet ke negara Eropa lainnya apalagi Uni Eropa saat ini mengalami perubahan demografis yang dramatis, populasi yang menua akan menjadi tantangan bagi pengelolaan anggaran, pembangunan ekonomi dan sosial. Populasi yang menua akan menurunkan produktivitas dan dianggap tidak akan lagi mendukung pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang, investor tentu akan menilai akan ada risiko gagal bayar atas utang-utang itu di masa yang akan datang. Kini negara-negara Uni Eropa tengah memperdebatkan bagaimana memecahkan masalah krisis di Eropa.
Kondisi Indonesia
Apabila kita menggunakan ketentuan anggaran yang disepakati oleh Uni Eropa maka kita dapat melihat bahwa defisit anggaran dan utang luar negeri Indonesia terhadap PDB berada pada posisi yang aman. Bank Indonesia memprediksi defisit anggaran tahun 2010 pada kisaran 1,0-1,2 % dari PDB, Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga memperkirakan defisit terjadi dibawah 1,5 %. Sementara itu, Laporan Bank Dunia bulan November 2010 memperkirakan defisit anggaran Indonesia sebesar 2,5 % dari PDB. Dari indikator utang luar negeri, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB (External Debt) sebesar 25,5 % sementara berdasarkan laporan Bank Dunia sebesar 22,5 % lebih baik dibandingkan dengan Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat yang masing-masing sebesar 198,8 %, 82,8 %, dan 60,3 %. Jelas hal ini menunjukan bahwa posisi anggaran pemerintah dilihat dari rasio utang dan defisit telah sesuai dengan ketentuan Uni Eropa. Hal sama juga bisa dilihat dari indikator utang lainnya, debt service ratio Indonesia sebesar 13,2 %. Data Kementerian Keuangan juga menunjukkan biaya utang yang semakin efisien, tahun 2010 diprakirakan rasio bunga utang terhadap penerimaan sebesar 10,6 % dan terhadap belanja sebesar 9,4 % lebih rendah dari tahun sebelumnya yang masing-masing sebesar 11% dan 10 %. Perkembangan credit rating Indonesia berdasarkan lembaga pemeringkat utang Ficth menunjukkan Indonesia berada pada level menuju investment grade dengan peringkat BB+ dari sebelumnya BB bahkan lembaga pemeringkat JCRA telah memasukan Indonesia dalam kategori invesment grade dengan peringkat BBB-.
Permasalahan
Melihat angka-angka statistik tersebut tentu kita akan berasumsi bahwa aspek fiskal kita baik-baik saja. Tetapi perlu juga kita melihat aspek lain yang menciptakan kondisi tersebut di atas. Defisit anggaran tahun 2010 yang diprakirakan di bawah 1,5 % lebih disebabkan oleh rendahnya penyerapan anggaran kita padahal realisasi penerimaan negara serta serapan dana dari penarikan utang dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) relatif tinggi. Kurangnya penyerapan anggaran lebih disebabkan oleh aspek legal administratif yaitu berkaitan dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), seringkali terjadi revisi DIPA karena perencanaan anggaran yang kurang baik, hal ini dilihat dari dokumen pendukung seperti SOP dan RAB yang sering dipermasalahkan. Jika pola penyerapan anggaran terus seperti ini akan menyebabkan hasil pembangunan dari anggaran negara relatif lambat dinikmati oleh masyarakat.
Berkaitan dengan utang luar negeri Indonesia , memang rasio utang kita terhadap PDB di bawah 30% dan menunjukkan kemampuan bayar kita yang semakin meningkat. Tetapi perlu diketahui bahwa nilai nominal utang luar negeri juga terus mengalami peningkatan, data Kementerian Keuangan menunjukkan posisi utang pemerintah per 30 November 2010 sebesar US$ 65,673 miliar meningkat dari tahun 2005 yang hanya sebesar US$ 63,094 miliar. Oleh karena itu, diperlukan manajemen utang yang baik.
Rekomendasi Kebijakan
Memang perlu dipahami bahwa utang merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang menjadi bagian pengelolaan ekonomi secara menyeluruh. Utang merupakan konsekuensi dari postur APBN yang mengalami defisit dimana pengeluaran lebih besar dari penerimaan, utang digunakan untuk menutup defisit APBN dan membayar kembali utang yang jatuh tempo (debt refinancing). Namun APBN yang sehat juga diperlukan agar kita memiliki ketahanan fiskal yang kuat untuk mengendalikan perekonomian. Defisit anggaran memang merupakan refleksi dari strategi kebijakan fiskal suatu negara, kebijakan defisit biasanya ditetapkan akibat kabijakan ekspansi fiskal dalam memberikan stimulus fiskal bagi perekonomian untuk meningkatkan permintaan agregat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Besaran defisit sangat tergantung pada kemampuan dalam memperkuat kapasitas fiskal dan program atau belanja yang akan dibiayai oleh APBN dalam mencapai target-target tertentu. Menurut Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, APBN disebut sehat apabila dapat menjaga defisit anggaran sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar prioritas seperti menciptakan lapangan kerja dan penurunan kemiskinan. Pembiayaan defisit harus mengutamakan prinsip kemandirian dalam pembiayaan negara yang diwujudkan dengan pendanaan murah dan berisiko rendah.
Merujuk pada pernyataan Sri Mulyani tersebut, penting untuk disimak bahwa pembiayaan defisit harus mengutamakan prinsip kemandirian dalam pembiayaan negara yang diwujudkan dengan pendanaan murah dan berisiko rendah. Pemerintah harus senantiasa mengutamakan sumber-sumber pembiayaan yang tidak membebani keuangan negara, baik saat ini maupun pada masa mendatang, misalnya melalui sumber pembiayaan non-utang seperti penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan hasil pengelolaan aset. Apabila sumber pembiayaan tersebut dirasa masih terbatas dalam menutup defisit maka dalam memilih sumber pembiayan yang berupa utang, harus dipertimbangkan faktor risiko dan biaya utang (harus dipilih komposisi utang yang memiliki biaya yang minimal dengan risiko yang rendah), dan tetap menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka panjang. Sejak tahun 2005, SBN menjadi instrumen utama pembiayaan APBN, perlu dicermati disini adalah jumlah utang dalam bentuk SBN denominasi valas tampak makin meningkat. Posisi SBN denominasi valas meningkat signifikan menjadi US$ 162,046 juta per November 2010 dari sebelumnya sebesar US$ 143,150 juta pada Desember 2009. Dari sisi risiko kebijakan ini mengandung risiko nilai tukar dibandingkan apabila SBN diterbitkan dalam denominasi rupiah, jadi pemerintah perlu cermat dalam mengelola komposisi utang kita.
Berkaitan dengan penyerapan anggaran yang rendah maka pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk mencegah tidak termanfaatkannya dana tersebut. Jika itu terjadi, dikhawatirkan ada dana yang dihimpun dari obligasi atau utang yang berbiaya tinggi dan tidak terpakai sehingga akan membebani APBN. Hal ini berbeda jika sumber dana tersebut berasal dari penerimaan yang tidak berbiaya seperti pungutan pajak, selain itu untuk meningkatkan penyerapan anggaran perlu dilakukan upaya pembenahan pada aspek legal administrasi .
Momentum 2011
Tahun 2011 perekonomian dunia masih dalam proses pemulihan. Di tengah-tengah proses pemulihan tersebut, negara-negara maju melakukan program penghematan fiskal untuk mengurangi potensi defisit lebih besar. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara maju pada tahun 2011 diprakirakan mencapai 2,2 persen, sedikit melambat dari tahun 2010 yang sebesar 2,7 persen. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi negara berkembang diprakirakan cukup tinggi mencapai 6,4 % sehingga dapat disimpulkan bahwa ekonomi negara berkembang akan menyokong pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2011. Ini akan disertai dengan peningkatan volume perdagangan dunia yang mencapai 7 persen.
Kondisi perekonomian Indonesia diprakirakan cenderung membaik dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 6,1 - 6,6 persen. Krisis utang Eropa harus menjadi warning bagi kita dan momentum pertumbuhan ekonomi 2011 harus dimanfaatkan dengan baik. Sekali lagi pemerintah harus melakukan kebijakan fiskal yang prudent dengan defisit yang tetap terkendali sehingga defisit APBN berada di kisaran 1,5 - 1,7 persen dari PDB sejalan dengan rencana pemerintah dalam kerangka APBN jangka menengah.
Sebagai penutup dari paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa ini merupakan tugas yang berat dalam menerapkan manajemen risiko pengelolaan APBN kita. Oleh karena itu, perlu sinergi dan dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, akademisi, BUMN/BUMD, Pemda dan sebagainya. Harapan kita tentunya memiliki postur APBN yang sehat dengan prinsip kemandirian seperti yang diungkapkan Sri Mulyani.
0 komentar:
Posting Komentar