
Di Kanada, orang-orang di Quebec bahkan selalu memisahkan diri. Mereka tidak mau menggunakan bahasa Inggris. Sehari-hari mereka hanya mau memakai bahasa Perancis, suatu bahasa yang di abad lalu merupakan simbol kebudayaan Eropa yang tinggi.
Uni Eropa tidak pernah bener-benar menjadi suatu negara serikat karena setiap negara punya kebanggaan akan budaya sendiri. Hal tersebut antara lain dapat terlihat pada tujuh bahasa resmi yang harus digunakan pada setiap dokumen resmi. Tidak ada yang mau mengalah.
Amerika Serikat dan Jepang lebih beruntung sebagai negara adidaya dalam bidang ekonomi. Keduanya solid dalam bahasa yang digunakan di negara masing-masing, yaitu bahasa Inggris dan Jepang. Dalam era globalisasi di mana arus informasi tak tertahan lagi, maka semua bahasa ini bertemu. Bahasa Inggris banyak digunakan orang, bukan hanya karena Amerika Serikat adalah satu-satunya negara adidaya, juga bukan karena kekuatan ekonominya yang luar biasa tetapi karena banyak ilmu pengetahuan berasal dari sana.
Buku The Art of War yang ditulis Sun Tzu pada 400 SM baru dimengerti orang barat 300 tahun setelah orang jepang membacanya. Mengapa? Sun Tzu menulisnya dalam huruf kanji yang dimengerti orang Jepang. Tiga ratus tahun kemudian baru buku itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Nasionalisme di dalam era globalisasi tidak boleh hanya ditunjang oleh suatu retorika saja. Kita harus mempertahankan bahkan memperluas penggunaan bahasa nasional kita dengan cara yang smart, bukan cara “sempit”. Kalau mau lebih cepat mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing yang datang atau tinggal di sini, kita justru harus mempertahankan nama Inggris yang sudah ada pada semua gedung. Bahkan yang belum ada bahasa Inggrisnya bila perlu ditambahkan tetapi diberikan nama Indonesia yang ditulis lebih besar sebagai bahasa resmi. Jadi, kalau ada sebuah gedung namanya Gedung Lippo lantas ada terjemahannya Lippo Building, orang asing justru bisa belajar bahasa Indonesia dengan lebih mudah. Oh, gedung itu artinya building! Inilah cara praktis mengglobalkan bahasa Indonesia.
Sumber:
Kartajaya, Hermawan. 2006. Marketing Klasik Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan.
0 komentar:
Posting Komentar