
Kejadian ini bertepatan
dengan kegiatan tugas kampus yang dikerjakan secara berkelompok. Dalam tugas
kelompok, pasti silang pendapat biasa terjadi. Namun akan menjadi masalah jika
ada anggota yang memiliki karakter arogan dan mudah marah. Sejak awal,
sebenarnya saya sudah mengetahui ada anggota yang memiliki karakter buruk ini.
Oleh karena itu, saya cenderung menjaga jarak agar tidak terjadi
gesekan-gesekan ego. Usaha tersebut ternyata tidak berhasil. Seorang anggota
mengkritik hasil pekerjaan saya. Mungkin karena kelelahan dan perut lapar, saya
lupa menginjak rem ego saya. Saya membuat pembelaan diri. Pembelaan diri
tersebut secara tidak sengaja menyenggol anggota lain yang mempunyai karakter
arogan dan mudah marah. Akibatnya, saya dimaki-maki. Satu-satunya kalimat sakti
yang masih saya ingat persis adalah saya disumpahi mati dibunuh. Saya memilih
menginjak rem ego saya dari pada harus menambah masalah. Saya lebih memilih mengutamakan
ibadah puasa saya. Kondisi ini dianalogikan seperti pelanggar rambu lalu-lintas
yang ditilang oknum polisi. Ketika si pelanggar ditawarkan untuk sidang di
jalan oleh oknum polisi tersebut, si pelanggar lebih memilih sidang resmi dan
berusaha untuk tidak menambah kesalahan dengan mengikuti kemauan oknum polisi
itu.
Setelah memaki-maki
saya, dia kembali memanggil dan mencoba menasehati saya. Sambil mendengarkan
saya berpikir, kenapa orang yang sulit mengendalikan diri justru malah
menasehati saya, lebih parah lagi dia bahkan berani mengkritik orang tua saya
yang dia melihat mereka saja belum pernah. Saya hanya mendengarkan tanpa
mengomentari. Tugas kelompok selesai dan kami kembali ke aktivitas
masing-masing. Tidak lama setelah kejadian itu, saya mendapat kabar bahwa
anggota kelompok yang arogan itu meninggal karena kecelakaan, terjatuh dari motor.
Dari kejadian ini saya mendapatkan pelajaran bahwa ketika kita menyumpahi atau
mendoakan keburukan, kemungkinan sumpah serapah dan doa-doa buruk tersebut bisa
kembali mengenai diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar